Monday, September 10, 2007

apakah aku berada di mars atau mereka mengundang orang mars?

pergi ke rak sastra di gramedia. apa yang kau jumpai di sana? novel, puisi, novel, cerpen, puisi. kalau inilah 'sastra indonesia', rasanya tiga rak memang sudah cukup. hahaha.

bagaimana dengan lirik lagu? catatan perjalanan? esei yang bukan tentang pramoedya? resensi film?

'walau kamu / tak semancung / gunung-gunung / di belahan bumi pertiwi / uuu uuu'

aku bukan orang yang pertama yang akan menahbiskan seorang vokalis menjadi penyair tentu, calz sudah melakukan itu pada ebiet g. ade (paling tidak menyindir bahwa 'Ebiet sebenarnya mempunyai bakat untuk jadi penyair' di buku isyarat-nya, hlm. 401), dan camille paglia pada joni mitchell, dan entah sudah berapa ratus penyair pada bob dylan. tapi di sini, setelah calz menahbis ebiet di tahun 1982, siapa?

aku belum pernah melihat lagi. maka sekarang aku akan mendeklarasikan bahwa jimi multhazam, vokalis the upstairs, bukan hanya punya bakat jadi penyair, tapi memang sudah lama jadi penyair, hanya mungkin tidak pernah berpikir menganggap dirinya seorang penyair (buat apa juga, dia tidak akan disewa dengan honor berpuluh juta untuk meng-headline pensi di seantero nusantara sebagai sekedar penyair), ataupun susah-susah mengetik lirik-lirik gubahannya dan mengirimkannya ke don@kompas.com.

tentu juga jauh lebih asyik menjadi anak haram mick jagger dan iggy pop daripada ahli waris acep zamzam noor dan d. zawawi imron.

tapi coba simak ini:

'Digital Video Festival'

Kita di masa depan
Dan sedang menuju Jakarta Barat
Sebelum Fatahilaah
Ada baiknya berputar arah
Tepat di Glodok Raya
Terdapatlah pusat film negara
Istana dongeng dunia
Dari Hollywood hingga ke Iran
Mari pesta

Digital Video Festival

Tak guna antrian panjang
Apalagi hanya popcorn yang mahal
Karena kita gembira
Bermodal awal lima ribuan
Kan ku ajak kau dara
Menyaksikan tutur gambar di rumah
Bertumpuk keping bajakan
Masih sempatnya kita berwacana
Menggila

Digital Video Festival

(dari album terakhir mereka, energy)

sungguh suatu lukisan weekend sore-sore di jakarta (atau weekdays buat anak-anak ikj kurang kerjaan itu!) yang sangat hidup bukan? dari cangkokan realita dan bahasa sehari-hari yang meyakinkan, 'popcorn yang mahal', 'modal awal lima ribuan', 'berwacana' (!—aku suka sarkasmenya!), sampai ke hiperbola yang tidak terasa melebih-lebihkan, 'pusat film negara' (apakah ini juga kritik terselubung kepada ppfn, bp2n, panitia ffi, dan badan sensor film?—pusat film negara adalah pasar gelap terang-terangan untuk DVD bajakan!), 'istana dongeng dunia', lirik ini begitu, ya, liris, menunjukkan sebuah pastoral bisa juga hidup di tengah-tengah kota! (bukan hanya di gresik, lampung, dan lembaran puisi kompas minggu ;).)

banyak lagi contoh lirik-lirik jimi yang mengingatkanku mungkin sedikit pada puisi mbeling, atau antologi bunga matahari itu, atau the new york school of poets seperti kenneth koch, john ashbery, dan frank o'hara yang menyibukkan diri dengan membawa kembali bahasa sehari-hari, slang, prokem, bahasa gaul, ke dalam puisi. judul posting ini misalnya, yang kuambil dari salah satu judul lagu mereka. di lagu itu ada kuplet yang menurutku paling akurat mendeskripsikan dancefloor stadium: 'mereka berdansa sungguh seragam/tetabuhan purbakala telah dilistrikkan.' tetabuhan purbakala telah dilistrikkan! siapapun yang pernah ngiprit di stadium pasti akan langsung diserang flashback begitu mendengar lirik ini!

hanya jimi tak pernah menyebut dirinya sendiri sebuah gerakan tentu. apalagi gerakan puisi.


jimi-lah penyair terbaik di antara lirikus indonesia setelah, bukan ebiet g. ade, calz kurang cermat menurutku hanya mengangkat dia, obbie messakh! ingat 'di bawah payung hitam/rambutku dan rambutmu/bersatu dalam diam'? jenius!

sinema keindonesia-indonesiaan

akhir tahun 2005 sebuah blog multiply mulai menarik banyak perhatian fans film indonesia. blog itu berisi review film2 indonesia yang nyinyir dan pedas, yang terkenal memberikan rating 'kancut' (dari ilustrasinya kelihatannya mereka memakai merek hing's, atau rider) buat film-film yang mereka benci. bukan sesuatu yang baru bagi yang sudah lama membaca joe queenan atau anthony lane, atau bahkan usmar ismail (di bukunya mengupas film, terbitan sinar harapan tahun 1983 misalnya), tapi kelihatannya jadi barang panas di antara para peresensi dan 'pekerja film' sendiri.

belum ada yang membuat studi yang mendalam (atau studi apapun sebenarnya) tentang pengaruh gaya resensi sinema indonesia pada resensi film di koran dan majalah mainstream di indonesia, tapi aku yakin siapapun peneliti itu (semoga bukan bule garing dari murdoch university lagi) akan menemukan bahwa gaya akmal nassery basral di tempo, susi ivaty di kompas, dan evieta fadjar p. di koran tempo seperti tiba-tiba mendapat suntikan adrenalin di bulan-bulan setelah sinema indonesia meledak dan terpaksa menjadi situs resmi bukan lagi blog supaya bisa lebih banyak menampung comments pembaca mereka. lihat review akmal tentang film rudy soedjarwo 'mengejar mas-mas' misalnya. mereka semua tiba-tiba berlomba menjadi yang paling sarkastis dan nyelekit, dan itu setelah bertahun-tahun menyalin press release dan blurbs yang dibagikan dalam media pack/goodie bag dengan entah apa lagi ;) pas launching. pernahkah kamu membandingkan sinopsis film di situs bioskop 21 dan berita singkat tentang film yang baru dirilis di koran-koran? rasanya seperti déjà vu.

aku akan beri satu contoh tanpa tahu malu, karena sekali lagi ini adalah tulisanku sendiri, tapi aku sekali lagi setuju dengan calz, '[j]ika tidak satu pun kritikus dapat memberikan penilaian atau pemahaman yang meyakinkan atau malah hanya sekadar komentar asal bunyi atau lip service saja, maka pengarangnya harus angkat bicara.' (di buku isyarat itu lagi, hlm. xv) karena aku belum melihat satu pun kritik memberikan satu pun penilaian atau pemahaman, jangankan yang meyakinkan (yang asal bunyi pun tak ada), maka aku akan angkat bicara:

reality love and rock 'n' roll / realita cinta dan rock n roll (scroll down)

menurutku, dan ini aku angkat bicara sebagai seorang kritikus, terlepas dari bagus atau tidak (buatku sendiri, review anak-anak yang lain di situ biasanya lebih lucu, contohnya review gotcha di halaman yang sama), ada beberapa hal yang baru di sini. mungkin bukan yang tidak pernah dilakukan dalam sejarah, tapi paling tidak yang mengikuti selera/gaya/zeitgeist sekarang (pertengahan 2000-an): swear words ('prick'), referensi kepada film porno ('anal highway 3'), referensi kepada pedro almodovar (filmnya sendiri juga me-refer kepada almodovar), joke berformat mata kuliah yang sebenarnya sudah lama basi ('queer politics 6969—the simpsons have done it already! in 1990!), kecabulan (6969 dan anal highway tadi), kebencian pada the mainstream ('garasi'), dan ya, hampir lupa, begitu bilingualnya aku, bahasa inggrisnya.

sebagai kritikus yang baik aku juga berpendapat penulis resensi ini punya kesempatan menulis seluruh resensinya dalam bahasa ABG beneran (like, more 'like' at least). but he played it way too straight. too safe. too earnest.

sekali lagi, semua ini bukan hal yang baru sama sekali. sekali lagi: joe queenan dan anthony lane. tapi ketidak baruan ini jadi hal yang menarik juga: seorang penulis resensi indonesia menulis resensi tentang film indonesia (yang dipengaruhi film spanyol) dalam bahasa inggris dan secara sadar bekerja dalam/memanfaatkan/memodifikasi tradisi penulisan dalam bahasa inggris itu. tradition and the individual talent? which tradition? whose? foreign tradition? but can a tradition that someone manipulates be called foreign if he consciously manipulates it? (and where the fuck's the fucking talent? hahaha.)

among the infidels

indonesia sudah lama jadi tempat singgah dan objek tulisan travel writers sedunia. dari miguel covarrubias sampai v.s. naipaul—yang ke sini dan menulis tentang tempat ini dua kali di among the believers kemudian di beyond belief—sampai host program wisata kuliner kanal discovery travel & living, no reservations, anthony bourdain. dan jangan lupa bervolume-volume etnografi/antropologia dari indonesianis-indonesianis cornell sampai perth.

sekarang lihat ini.

sekarang ganti travel writers indonesia yang mengobyekkan dunia.

aku sengaja tidak memakai sigit susanto dan 'catatan perjalanan'-nya, menyusuri lorong-lorong dunia, terbitan tahun 2005, karena menurutku tulisan-tulisan di situ masih terlalu lugu. masih menempatkan si backpacker indonesia sebagai seorang naif yang terheran-heran pada dunia, dan tak sekali pun benar mengeja nama sesimpel vladimir nabokov (hanya ada 4 entri indeks untuk 'nabakov'). sementara stelivena, yang tentu saja menyembunyikan nama aslinya dan apa identitas daytime-nya (rusmailia lenggogeni, creative group head jwt—thanks google!), nyaman mencela rasa truffles dan tahu persis ada berapa -a dalam dar es salaam.

mungkin perbedaan ini karena sigit memang sudah tua (lahir tahun 1963), sehingga, seperti pernah aku bayangkan di salah satu postingku kemarin, mungkin dibesarkan dalam dunia yang masih datar, belum global.

critique of no reason

buku filosofi kopi dee lestari sempat dirilis dengan blurb di sampul depan dari goenawan mohamad yang menyatakan (kira-kira), 'ada kata dalam bahasa inggris, wit, yang dalam bahasa indonesia berarti cerkas. ada banyak yang cerkas di buku ini.' setelah membaca buku ini aku jadi bertanya-tanya apakah goenawan mohamad, sampai sekarang masih salah satu penyair favoritku itu, punya pemahaman yang sama sekali lain tentang konsep 'wit', 'cerkas', dan 'banyak'. karena aku sama sekali tak menjumpai wit di buku ini! (tadinya aku mau mempertanyakan konsepnya tentang 'buku' juga, remember, this is dee we're talking about, who somehow manages to fool everyone into thinking that supernova was a novel, tapi aku tidak yakin dia benar-benar memakai kata 'buku' di blurb-nya, mungkin dia hanya bilang 'di sini'.)

tidak banyak eseis di indonesia, apalagi yang populer. aku ingat juga di kumpulan tulisan kakilangit terbitan horison yang tidak dijual untuk umum itu ada mungkin ribuan sajak dan ratusan cerpen tapi kalau tidak salah tak sampai 10 esei. dan selain goenawan dan catatan pinggir-nya, eseis yang punya kolom reguler dan (logikanya, walaupun belum tentu juga) karena itu, pembaca reguler, hanya segelintir dan itu-itu saja namanya: sga dan wimar di djakarta!, rosihan anwar di cek & ricek (selalu ngomel, dan karena itu, tetap lucu) dan belakangan ayu utami dan 'kodok ngorek'-nya dan muara bagja dengan kolom fashion-nya di seputar indonesia minggu, dan yang katanya agak meledak, samuel mulia dan 'parodi'-nya di kompas minggu.

semua penulis itu, kecuali ayu, berumur di atas (buat rosihan, jauh di atas) 40 tahun. mereka sudah tua, dan esei-esei mereka juga mulai terasa basi. atau paling tidak, aku bisa membaca banyak esei yang sama bagusnya dan isinya lebih dekat (kalau tidak sama persis) dengan kehidupanku, di blog seperti budibadabadu. soal fashion, aku lebih memilih membaca regina kencana di majalah a+ daripada muara bagdja. soal kehidupan gaul ibukota yang menyebalkan tapi lucu aku akan baca affi, atau marianne (terutama posting-posting tahun 2004-nya) daripada samuel mulia (dan menurutku gaya tulisan sam sendiri sekarang sangat dipengaruhi gaya menulis anak-anak a+, muda tentu, yang ia pimpin sebagai editor-in-chief di tahun-tahun pertamanya, dan sempat menang hadiah cakram utuk media inovatif, yang aku yakin karena tulisan-tulisan di situ waktu itu memang agak lain. dan menurutku—ini perlu studi tersendiri juga!—gaya menulis di a+ circa 2000, yang dicontek dari the face, details, spin, adalah pionir gaya penulisan di majalah-majalah hiburan sekarang, dari yang mahal seperti playboy sampai yang free(!). bukan hanya soal kecenderungannya untuk terlalu banyak mencampur bahasa inggris dengan bahasa indonesia, tapi juga nadanya yang berusaha, mungkin terlalu keras, untuk selalu nyinyir).

critics of impractical reasons

menurutku inilah problem sastra indonesia yang terbesar. kritikus yang malas. bukan malas menulis, karena banyak sekali kritik di mana-mana, terutama di koran minggu dan yang menyebutkan nama habermas, tapi malas mencari tulisan-tulisan baru, nama-nama baru, gaya-gaya baru.

bukan hanya untuk menyelamatkan tulisan yang bagus dari genre yang bereputasi jelek. tapi siapa lagi yang menyadari kecerkasan (ha!), misalnya, jakarta kafe-nya tatyana selain taofik hidayat di sriti.com? ada lagi yang tidak merasa terlalu terhormat untuk mengobrak-abrik rak chick lit untuk menemukan buku ini? cerita terbaik di buku ini, 'jakarta kafe', diakhiri dengan kutipan dari 'gadis kecil'-nya sdd (dan seluruh buku ini sangat dipengaruhi lirisisme sdd—lagi-lagi menyajikan pastoral urban, di warung kopi, kafe, metro mini, mal), sehingga kalau taofik mau memindahkannya dari rak chick lit dan menyandingkannya 'sejajar dengan sejumlah cerpennya seno gumira ajidarma, atau dengan yang paling mutakhir: kuda terbang mario pinto karya linda christanti [sic],' dia bisa saja, tapi yang paling penting adalah kesediannya berpikir dengan serius tentang kumpulan cerpen ini, eg, 'jakarta yang kuyu, tatyana lukiskan bak oven bocel, segalanya serba mampet, lusuh, gagap komunikasi, yang ia larutkan dalam bentuk tokohnya yang serba mandek.'

tapi sayangnya, hampir semua kritikus sastra indonesia masih menganggap menyeleksi tulisan bagus dari rak chick lit atau blog hopping untuk mencari chairil dan pram yang baru, atau yang bukan lagi-lagi ingin jadi chairil dan yang bukan lagi-lagi ingin jadi pram lebih tepatnya, sama saja dengan mengorek-ngorek keranjang sampah.

padahal di keranjang sampah di rumahku kutemukan ini:

1111 666

EMPUK-EMPUK ENAK

buat sahur OK
buka juga bisa

(iklan phone sex di lampu merah, bulan puasa 2005)

kalau salah satu fungsi sastra adalah untuk mensubversi tatanan status quo (moral/pemerintahan/seksual, etc), lebih subversif mana, iklan 2x4 senti ini, atau 148 halaman ode untuk leopold von sacher-masoch?

No comments: